SISTEM SOSIAL BUDAYA
INDAH PUSNITA, S.SOS, M.SI
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD
YUNUS 01 14 035
RADA
SANISA 01
14 069
PUJI
YUDHA PRATAMA 01 14 040
MELINDA 01
14 032
MULYA
HATI A 01
14 0
STISIPOL CANDRADIMUKA PALEMBANG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa, karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik, dan hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
dalam mata kuliah Sistem Sosial Budaya dalam
pembuatan karya ilmiah berupa makalah mengenai sosial kebudayaan daerah
Aceh. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Indah Pusnita.
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiahini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiahini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
Palembang, November 2015
Penyusun
BAB I
PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
1.1 Pengenalan
Wilayah Aceh
Hutannya, yang terletak
di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh
Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu
Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara. Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia.
Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri,
berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan
sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat
adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam
seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak
di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber.
1.1.1 Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan
makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa
kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir
barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad
ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan
yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu
sejak abad ke-18 denganBritania Raya (Inggris) dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya
di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung
Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan
Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya
di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni
mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan
Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari
mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
1.1.2
Kesultanan Aceh
Kesultanan
Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang
hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 – 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan
begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan
pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin
hubungan diplomatik dengan negara lain.
1.1.3 Perang
Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda
menyatakan perang terhadap Aceh pada 26
Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak
berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada
tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893,
pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah
berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan
saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama,
bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun1898, Joannes
Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama
letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud
akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua
istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh
telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan
oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama
Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran
belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling banyak
merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
1.1.4 Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli
yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk
Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon
dan Nias.
1.1.5 Agama
Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk
agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah
agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan
sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian
lainnya tetap menganut agama Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi
ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang
menganut agama Islam.
1.2 Sejarah
dan Pengenalan Kebudayaan Aceh
Aceh merupakan salah
satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik
khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan/kenduri. Di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam terdapat delapan sub suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas,
Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis
mempunyai budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Gayo
dan Alas merupakan suku yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan
Aceh Tenggara.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah
orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat
Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan
masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari
sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling
mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari
struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.
Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya
sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran
nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya
.
1.3. Hakekat
sistem budaya Aceh adalah Agama Islam
Syariat Islam adalah Berisi hukum dan aturan
Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun
non Muslim. Sumber: Al-Qur’an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh
perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan
sumber hukum), Ijtihad (untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis).
Oleh sebab itu segala cabang kehidupan:
politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.
1.4
Sistem Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang
terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah. Namun bagi anak
laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi.
Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan
keluarga.
1.5 Kesenian
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi
oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai
budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati,
seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni
kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah
adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni
sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang
Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal
dari dua budaya yang berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati,
dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara.
Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang
dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di
kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami
kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal,
antara lain tari saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk
hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk
kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat),
yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
BAB
II
KEBUDAYAAN
ACEH
II. 1
Asimilasi dalam Budaya Aceh
Setiap bangsa
mempunyai corak kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya yang dimiliki suatu
daerah merupakan cerminan identitas daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak
budaya yang khas.
Kebudayaan juga merupakan warisan sosial yang
yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang mendukungnya. Prof Dr H
Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II,
Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan budaya Aceh sangat kental
dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku sebelumnya yang pernah
ditulis oleh ahli ketimuran.
Hal itu terjadi karena sebelum Islam masuk ke
Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur hindu. Setelah
Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, namum
tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam
kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau
sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan
Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin,
mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji
Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan
candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan
budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang
berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate
aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini bukan hanya
sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan tentang
pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai pranata sosial dalam hidup
bermayarakat.
Adat dan kebudayaan juga mewariskan sebuah hukum non formal
dalam masyarakat, yakni hukum adat yang merupakan hukum pelengkat dari hukum
yang berlaku secara umum (hukum positif). Disamping tunduk kepada hukum
positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan
tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada
semenjak zaman kerajaan. Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi
hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri.
Seperti tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn
sifeut, syih han jeut meupisah dua.
II.2 Pola
Hidup & Golongan Masyarakat Aceh
Bentuk kesatuan hidup
setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh
seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah)
yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut
mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa
kepada sultan.Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku
bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Sedangkan Golongan Masyarakat aceh, pada masa
lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat
golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang,
golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan
keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk
keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan.
Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang
menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya, kesenian,
pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam tersebut
berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi
dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh
sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004.
Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah,
karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun
cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya
budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum
wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan
tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab
terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai
ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk
terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat, karena dandanannya
yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh
yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas
sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.acehforum.or.id/showthread.php/4894-Pakaian-adat-Aceh/page3 (diakses pada 2 Nov 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh (diakses pada 2 Nov 2015)